Lari dan Sejarah dalam Keluarga Kami
Keluarga kami memiliki sejarah dengan kegiatan satu ini : lari. Almarhum bapak saya, adalah seorang pejuang angkatan 45, yang memiliki riwayat perang gerilya dan Long March. Beliau suka dengan jalan jauh dan lintas alam. Lari pagi selalu dilakukannya dua hari sekali. Saking hobinya lari dan jalan kaki, di manapun bapak selalu ingin jalan kaki dan lari.
Bahkan, empat hari menjelang meninggalnya, atau dua hari sebelum bapak masuk Rumah Sakit ICU untuk pertama kalinya, bapak masih berjalan kaki mengurus semua aset perbankan bapak muter ke seluruh bank-bank yang bapak masih ada urusan di sana, dengan berjalan kaki. Kemudian, beliau datang ke salah satu kyai yang bapak pernah punya masalah dengannya. Bapak membuat rekonsiliasi, minta maaf atas segala perilaku, juga datang berjalan kaki. Pak kyai bilang "Bapak njenengan jalan ke sini dengan gagah sekali, saya takut beliau mau ngapa-ngapain saya, dan saya heran, bapak meminta maaf atas segala tindakan." Ya, bapak seorang yang tidak mudah meminta maaf. Beliau terdidik dari keluarga hingga militer, sebagai seorang yang kepercayaan dirinya berlebih.
Hingga di usia 90an tahun, bapak masih lari. Di atas rumah kami, ada space terbuka yang berlantaikan cor dag semen yang cukup kokoh. Ruang itu ada di depan dua kamar yang bapak bangun kira-kira tahun 2011 silam. Tahun-tahun terakhir bapak, tiap pagi masih berlari-lari jogging di atas rumah tersebut dengan jumlah putaran yang tidak kecil untuk kami. 400 kali, bapak baru mau berhenti.
Cerita lucu lainnya, tahun 1983 bapak ini kecelakaan boncengan motor bersama saudara. Bapak mengalami benturan kepala untuk kali kedua dalam bulan itu. Sebelumnya bapak sudah pernah jatuh di dapur kami yang berundak dan undakannya berlingir. (bersudut). Di depan anak-anaknya yang masih kecil bapak pingsan. Setelah kecelakaan itu, bapak dibawa ke RSU Wonosobo, dan kemudian opname di sana, dalam keadaan setengah gila. Dalam kondisi tidak sadar itu, apa yang dilakukannya? Tiap pagi dia minta lari pagi. Dokter yang melarangnya, beliau tantang berkelahi. 😀
Event Lari Bapak
Bapak tidak ikut event besar dalam lari. Beliau seorang solo runner yang biasa lari sendirian atau bersama teman yang jumlahnya terbatas. Beberapa event pribadi lari bapak yang mengesankan antara lain, lari dari Wonosobo - Kejajar - Tambi - Sigedang - Sibajak - Sikesot - Jumprit - Muntung - Ngadirejo - Parakan. Berapa KM? Di atas marathon tentunya.
Dengan elevasi yang di atas 1000m ini tentu agak gila juga pelakunya. Orang mau ke Parakan si, tinggal lewat Kledung, celah antara Sindoro Sumbing. Eh ini orang lewatnya utara gunung Sindoro. Itu dilakukan di usia lebih dari 60 tahun! Tidak satu dua kali melakukannya...
Eh, dia bilang, lari paling berat bukan Wonosobo - Tambi - Parakan, tapi justru Wonosobo - Dieng. Mengapa? Sebenarnya jaraknya cuma 26 km saja. Namun elevasi yang dilewati sangat tinggi dan terhitung curam. Di samping itu, udara yang amat dingin menjadi tantangan berikutnya. Biasanya bapak pulang dengan naik bis. Dan, di dalam bis biasanya akan kedinginan, karena kaos yang basah keringat dan angin dari luar bis yang masuk ke dalam.
Bagaimana dengan Anak-anaknya?
Saya dulu juga hobi jogging, ya tentu karena bapak sering jogging. Tapi sejak saya kuliah ekstensi S-1 tahun 2001, kuliah saya kuliah malam. Setelah kuliah juga belum tentu bisa tidur. Akibatnya pagi masih tidur. Setelah lulus pun, pekerjaan lebih banyak malam, dan saya jarang sekali bisa tidur dengan jam manusia normal. Ya, saya telah jadi nocturnal. Sebelum pandemi menyerang, saya biasa tidur setelah jam 5 pagi.
Pandemi menyelamatkan Pola Hidupku.
Manusia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Mengapa berita di mana-mana orang terkena wabah, lantas seperti meninggal dengan cepat. Lantas bisa ketularan dengan cepat. Tiba-tiba saja ada lockdown. Bahkan kantor-kantor yang biasa strict dengan jam kerja, memerintahkan semua WFH. Banyak kantor tutup, karena merasa belum butuh sewa kantor lagi. Ini situasi SERIUS. Saya baca, pandemi ini ulah virus. Konon menurut saya pribadi 😁, virus ini mempertahankan diri karena habitatnya habis. Ada di sini kisah karangan saya.
Hal-hal yang bisa menyelamatkan kita dari virus antara lain : menghindari kena virus (mustahil di masa pandemi), atau memperkuat imunitas. IMUNITAS.
Di masa WFH itu saya mulai ketakutan. Saya memulai untuk mencoba mengubah diri menjadi manusia normal. Kutinggalkan dunia nocturnal, memaksakan jam 22 sudah ketemu bantal, jam 23 sudah terlelap, dan bangun pagi pada fajar tiba. Setelah itu saya mencoba untuk jogging 30 menit - 60 menit. Ternyata, pagi itu sangat indah, dan segar untuk berolah raga. Banyak karya foto saya yang dulunya adalah penggemar sunset, sejak pandemi saya mulai menggemari sunset dan sunrise (lagi). Saya kembali lari pagi. Jogging bersama keluarga di pagi hari terasa lebih asik lagi.
Sangat ironis jika saya merasakan bahwa salah satu periode terbaik di hidupku justru ada di tahun 2020. Padahal tahun itu ada meninggalnya bapak, dan ada pandemi besar yang sedang terjadi. Oh ya, lebaran paling indah adalah 2020 juga lho, karena saya merasa tak perlu ke mana-mana, tidak melihat orang saling flexing ubyang ubyung sana sini. Hihihi... Tahun itu, alam istirahat, suara alam kembali ramai ramah. Lebaran tahun itu benar-benar hanya ada suara takbir dan garengpung. Wooow...
Pemandangan Jogging Desa Kami
Saya Sakit 12 Hari (kena covid)
Meskipun sudah rajin olahraga, sudah juga divaksin, tapi sepertinya jika kejatahan kena, ya kena saja. Sekitaran April 2021 saya sakit. Tenggorokan panas, tidak bisa bersuara. Demam tinggi, pilek, pusing dan hanya bisa rebahan. Tapi saya tidak anosmia. Saya sembuh di awal Ramadan setelah sempat satu hari tidak ikut berpuasa.
Setelah sakit itu saya merasakan bahwa jalan jauh atau lari jarak pendek saja dada seperti terbakar rasanya. Dari situ saya baru paham, kemarin saya kena virus covid. Ya, saya memang tidak pernah memeriksakan diri ataupun lapor siapapun. Saya biarkan saja. Ya alhamdulillah nggak ada yang kena. Hahahaha. Bahkan sempat membuat acara buka bersama di rumah, bersama para tetangga. Mereka sehat semua kok.
Kembali Lari dan Workout
Saya memulai lari, pasca Idulfitri. Seperti biasa, lari nyeker (tanpa alas kaki) keliling desa, atau sekitaran tempat tinggal di Jogja. Sedikit-sedikit. Saya tidak kenal itu apa namanya outfit, ataupun aplikasi seperti Strava, Relive dll yang bisa untuk merekam dan merekap aktivitas workout kita. Saya juga melakukan peregangan ataupun kelenturan sendiri. Alhamdulillah juga masih bisa..
Sekitar tahun 2022, saya ingin mencoba, seperti apa rasanya, dan seperti apa sebenarnya jika saya ditrack dengan aplikasi seperti Strava dan sejenisnya. Saya kemudian memulai install Strava dan Google Fit. Ya, ternyata tidak jelek-jelek amat untuk aktivitas ini. Justru dari situ saya mulai menyadari, saya seharusnya malah memiliki kelebihan lain, seperti menggemari lari jarak jauh. Hanya saja selama ini tidak terpantau.
Saya pun memulai aktivitas ini! Lari jarak jauh seorang diri!! Apa lagi masuk hutan dan berelevasi.
Jika dulu almarhum bapak berlari lintas Sindoro Sumbing, maka saya sekarang lebih suka lintas Merbabu. Salah satu mengapa saya menyukai elevasi, adalah karena:
- Keindahan alam, terutama pagi
- lautan awan
- Berangkat masih full energi dan pulangnya saat capek tinggal mengikuti gravitasi. Ini akan membantu pace di Strava naik
- Menambah endurance, melatih napas.
Lebaran tahun lalu (2024) saya mencoba berlari ke arah Pujon dari Kota Batu. Saat itu keluarga piknik ke sana. Ternyata sungguh menyenangkan. Di sana udara bersih, meskipun banyak juga orang melakukan pembakaran sampah di dekat jalan. Elevasi hampir sekitar 600an dengan jarak di atas 10 km, dengan belokan yang menyenangkan. Mungkin menurut saya seperti jalur Salatiga - Kopeng, tapi lebih lebar lagi, dengan kiri - kanan pohon-pohon yang masih besar-besar.
Di sana juga banyak orang-orang berolah-raga terutama bersepeda. Lari? Sepertinya saya sendirian. Banyak juga orang-orang touring mobil atau motor di sana, dan biasanya pada berhenti di perbatasan Kabupaten Malang dan Batu. Masuk kecamatan Pujon, kalau nggak salah di sisi Malang ada di kecamatan Songgoriti.
Orang di sana ramah-ramah, sesama pelaku olahraga pada saling bersapa. Saling memberi semangat. Nah, di video ini ada salah satu kebingungan saya. Seorang bapak bersepeda naik ke arah Pujon. Saya ingin menyalipnya tapi saya merasa tidak enak. Takut disangka mau pamer kekuatan. Hahahahaa... Padahal ya paling setelah nyalip saya bakal berhenti atau jalan kaki biasa.
Jalur Lintas Merbabu
Setelah itu, saya memang rajin lari agak jauh. Salah satu route favorit saya adalah jalur rumah, naik ke arah Jetak, Setugur (kab Semarang), naik ke arah pertapaan Gedono, desa Tajuk, dan tembus ke arah Spekta Merbabu. Salah satu target saya adalah dari rumah bisa tembus ke Gedong Pass, atau justru jalur pendakian Merbabu via Thekelan. Eh tapi sepertinya nanti dulu... Qkqkqkq
Elevasi di jelang akhir Gedong Pass emang agak gila si. Ya, cuma berapa kilo, tidak sampai 15 km, namun elevasinya membuat lemes duluan. Belum lagi jalan pulangnya.. Duh menarik sekali. Pemandangannya bagus. Di sana masih banyak hutan yang dilindungi, maklum, di sana adalah taman nasional.
Menyendiri di sana, rasanya cukup damai, mendengarkan suara burung di dalam hutan arah Merbabu, ah...
Oh ya, aktivitas lari ini, ada penambah semangatnya. Salah satunya adalah kegiatan di rumah ibu, adik saya yang dulunya adalah orang malam juga, orang begadang, kini lari jarak jauh dan endurance nya luar biasa. Tentu usia juga nggak jauh beda dengan saya. Balita. Di bawah Lima Puluh Tahun. Boleh ditengok di IG nya : https://www.instagram.com/bayu.agni. Dari situ kami yakin, kami keturunan orang yang suka alam, suka berlari sendirian di alam bebas. Ada yang mengingatkan : "Hati-hati mas, masuk hutan seperti itu sendirian". Terima kasih peringatannya. Tapi saya lebih merasa tidak nyaman dan tidak aman berlari di tengah kota.
September 2024, Operasi Ambeien, dan 15k Sleman Temple Run yang gagal.
September 2024, saya dengan beberapa rekan kenalan baru, naik ke Merbabu, via Suwanting. Alhamdulillah, kami dapat hujan di malam hari, dan mendapatkan lautan awan di pagi harinya. Big Thanks untuk teman-teman baruku. Mereka muda-muda, potensial, (dan penting untuk diketahui : mereka tetap memanggil saya : mas). Saya melakukan pendakian di hari kerja. Tujuannya : menghindari keramaian seperti yang orang masa kini inginkan. Saya emang tidak suka seperti kebanyakan orang di satu saat.
Saya telah mendaftarkan diri untuk mengikuti event Sleman Temple Run dengan jarak tempuh 15km. Namun sayang, itu tidak pernah terjadi. Setidaknya belum.
STC 2024 : FAILED!!!!
Saya memilih pulang, di H-1 dan Minggunya saya memulai prosesi operasi yang harus dilakukan hari Seninnya. Kisah operasi ini saya tulis saja di blogpost lain.
Memulai Lari..
Saya mencoba memulai lari lagi di bulan November 2024, sejauh 6km. Kemudian disusul dengan mencoba jarak jauh sepanjang 14 km, dan kemudian saya mencoba jarak-jarak pendek, karena ternyata rasa pasca operasi ini belum juga bisa usai. Pelan tapi pasti.
Kemudian, di bulan Ramadan ini saya mencoba memulai lari agak jauh di sore hari, dan juga badminton kembali. Alhamdulillah, segalanya mulai lancar. Hingga akhirnya pasca idul fitri ini saya juga memulai menanjak lagi, dengan target-target lain. Seperti biasa, pasca lebaran saya perlu membuang kolesterol, karena selama lebaran full dengan opor, rendang, sambal goreng, kerupuk kulit dan segala kolesterol berbahaya lainnya.
Lagi pula : "Lari / jalan adalah mensyukuri nikmat Allah yang diberikan pada semua orang".
Nah, jika saya sudah mulai beraktivitas lagi, kapan kalian ??
Komentar
Posting Komentar