Langsung ke konten utama

Bandara Hasanuddin dan Gadis Kecil dengan Nada Mutlak...

Kisah berkesan ini terjadi di Bandara Hasanuddin Makassar, tahun 2016. Beberapa kali berada di Bandara ini selalu ada kesan yang tak terlupa. Saya pernah tertidur di sana karena connecting-time yang sangat panjang akibat delay pesawat menuju Jogja. Saking seringnya bersendiri di Bandara itu, saya sampai apal motif atap khas Bandara Sultan Hasanuddin. Dulu, bandara ini adalah bandara terbaik se-Indonesia. Sebelum akhirnya proyek-proyek infrastruktur Pak Jokowi membuat keindahan bandara ini memiliki saingan yang sangat banyak. 

Hari itu, masih di bulan Ramadan tahun Masehi 2016, saya dapat perjalanan yang insidensial. Saya terpaksa berangkat karena ada satu insiden di salah satu rekanan di Manokwari. Saat hari keberangkatan ke Manokwari saya senang sekali. Karena saya akhirnya dapat berkunjung kembali ke Papua. Meskipun pakai Lion Air, tak ada delay sama sekali sampai Manokwari. Jogja - Surabaya - Makassar - Ambon - Manokwari. Saya juga senang karena saat di bandara Surabaya, saya diajak salaman oleh petugas tiket bandara Juanda. Belakangan saya tahu bahwa saya bukan diajak salaman. Tapi karena cara si petugas meminta tiket itu, saya anggap seperti ngajak salaman. Pantes petugas lain pada ketawa ditahan..




Antara Ambon-Manokwari pakai pesawat ATR, yang terbangnya tidak terlalu tinggi. Sehingga pemandangan di bawah, hingga pemandangan jelang sunset di atas kota Sorong jadi amat jelas. Saya berharap bahwa saya di atas Raja Ampat. Selain karena tanpa delay, yang saya sukai adalah, waktu puasa saya kepotong dua jam. Kan di Manokwari waktu berbukanya dua jam lebih cepat dibanding Jogja? 😅😅😅

Saya pulang setelah beberapa hari di kota Manokwari. Saya request ke tim yang mencarikan saya tiket : "tolong saya dicarikan tiket pulang malam, gapapa sampai Jogja pagi". Niat saya sudah jelek duluan. Agar waktu puasa saya tidak ketambahan dua jam. Tapi apa lacur... Tim pencari tiket bilang : "Maaf mas, saya malah disuruh mencarikan tiket Sriwijaya bisnis pagi, sampai Jogja sore". Asem kupikir. Siap-siap waktu puasa bertambah 2 jam. Niat jelek memang nggak baik. 

Di pesawat pulang, di ruang bisnis, cuma duduk berdua dengan sebelahan dengan seorang mbak-mbak manis sekali berwajah Ambon. Di dalam ruangan bersekat itu, AC dingin sekali. Si mbak sebelah saya memanggil pramugari, memesan sesuatu makanan. Feeling saya sudah nggak enak. Nah benar kan... pramugari masuk membawakan mie rebus panas buat si mbak itu. Saya menelan air liur.. 

"Bapak mau memesan sesuatu?", kata pramugari

"Saya puasa mbak", tukas saya

"Oh maaf pak. Tapi jika membutuhkan sesuatu dapat menghubungi kami", katanya.

Si mbak sebelah saya juga segera menyapa saya dengan wajah bersalah... "Maaf mas, saya makan sendiri, tidak tahu kalau masnya sedang puasa"

"Oh, nggak masalah mbak, puasa kan tanggung jawab saya sendiri", kata saya bohong.. aslinya dongkol. Tapi bukan sama mbaknya si... Qkqkqkqk

Sampai di Hasanuddin, menjelang masuk ke ruang tunggu, saya terkejut saja.. Saya diminta membongkar tas, karena ada benda yang mencurigakan. Sebuah batang besi katanya. Ya sudah saya bongkar-bongkar... Ketahuanlah yang membuat saya dicurigai adalah harmonika yang biasa saya bawa-bawa ke mana-mana untuk menghibur hati. Sepertinya itu kali pertama saya dibongkar gara-gara harmonika-lah, atau harmonika holder lah.. Sejak saat itu saya sering dibongkar gara-gara benda itu. Bahkan pernah di Jakarta, benda itu tidak boleh dibawa. Sampai pada akhirnya bertengkar, dan saya mainkan lagu selamat ulang tahun di situ. Oh ya, petugas cewek lebih banyak tahu tentang harmonika lho dibanding petugas cowok.


Berjumpa Dea

Sampai bandara, saya mulai puter-puter cari sesuatu yang bisa dilihat-lihat sambil nunggu. Maklum hari itu nggak bisa ngemil. Coba kalau saya gak puasa hari itu. Bisa pesen mie panas di dalam kabin bisnis yang dingin sambil ngobrol sama mbaknya dengan lebih asik, bisa ngemil di bandara, bisa cari coto makacar.. eh. Tiba-tiba mata saya nanar lihat jualan buku yang harganya agak berlipat kali kalau tidak di dalam bandara.. 



"Traveling Ala Orang Kantoran" - Marulina Pane

"Kapan sebaiknya traveling? Saat masih muda dan tenaga masih kuat? Atau saat sudah pensiun, ketika waktu dan uang lebih tersedia?

Buku ini membahas kendala dan keuntungan traveling ketika masih muda belia dan ketika usia sudah cukup tua. Dibahas juga masalah-masalah keuangan yang umumnya dialami karyawan, pola pikir karyawan yang membuat dirinya tidak bisa traveling dan tidak punya tabungan, kiat sukses mengumpulkan uang untuk traveling dan cara merencanakan traveling murah meriah yang tidak menguras kantong.

Buku ini juga mengulas 12 destinasi menarik di Indonesia dan Asia dengan biaya terjangkau, lengkap dengan itinerary  dan perhitungan biayanya. Anda bisa menghemat waktu dan biaya perjalanan, serta terhindar dari liburan yang membosankan. Ayo tunggu apa lagi? Susunkah rencana perjalanan selama anda masih punya penghasilan, bisa menabung dan ada kesempatan" 

Begitu kompornya di cuplikan belakang

Hoooo, cocok sekali... Saya sendiri emang nggak pernah pergi lintas pulau kalau gak ada yang membiayai. Gak pernah pergi jauh kalau nggak ada tugas.. Buku ini cocok sebenarnya. Tapi.... Ya sudah.. 

Corong halo-halo bandara berbunyi, memberikan informasi delay pesawat menuju Jogja. Buru-buru saya lihat salah satu wall-display monitor pengumuman. Yaah, lumayan lah cuma 30-60 menit. Sambil sendikit menggerutu, duduk kembali ke sebuah tempat duduk. Saya berbincang dengan seorang bapak yang mungkin seusiaan saya. Tiba-tiba seorang cewek kecil yang main-main dengan piano mainannya. Mungkin usianya sekitar 6 tahun. Dia bertanya pada lelaki itu : "Ayah ngobrol dengan om ini? Kenal?". Matanya yang mungil itu menyelidik ke saya dari atas sampai bawah, penuh rasa curiga.

Si bapak menjawab : "Iya kenal". Terus anak itu menyodorkan pianonya ke si bapak itu. Si bapak itu memainkan beberapa nada. Meski piano mainan, si bapak itu terlihat paham dengan seni musik. Setelah bapak itu memainkan piano, si anak itu merebut piano kecil itu dan memainkan sendiri. Eh? Cukup bagus mainnya. Refleks saya bilang : "Eh kok mainnya bagus sekali? Siapa namanya?"

Si anak bilang sambil sewot : "Dea"

Saya tanya lagi : "Nama lengkap siapa?"

Dea : "Tebak dong"

Saya bingung beberapa saat... "Waduh gak tau

Dea bilang : "Siapa hayo nama lengkapku" (sambil merasa senang karena saya bingung)

Saya terdesak dan spontan ngawur : "Waduh, siapa ya? Tapi depannya Amadea bukan?"

Si anak dan si bapak sama-sama sedikit heran.. "Lho kok om tahu?". 

Si bapaknya bilang ke Dea "Ini om detektif ini. Ayo kita tanya om kok tau dari mana? Biasanya orang kalau disuruh menebak nama lengkap Dea, pilihannya Dea Mirella, Dea Ananda dan lainnya. Ini si om beda, tapi bener"

Saya berpikir sejenak. Kemudian saya bilang : "Ini nama yang kasih nama kakek atau neneknya ya?"

Si bapaknya yang makin bingung, sambil ketawa kecil dia tanya : "Lho kok tau... ayo-ayo cerita."

Saya bilang : "Saya tadi pertama menjawab ngawur. Untung saja benar. Nama Amadea saya tebak karena Dea dan ayahnya memainkan piano dengan baik. Ayah Dea memainkan Eine Kleine Nacthmusic-nya Mozart. Nama depan Mozart adalah Wolfgang Amadeus Mozart. Biasanya nama dengan belakang 'us' adalah cowok, dan untuk cewek adalah 'a'. Patricius, Patricia. Amadeus, Amadea. Mungkin saja nama itu diambil dari sana."

Ayah Dea tanya : "Tapi kenapa tahu bahwa itu nama pemberian kakek?"

Saya jawab : "Karena ayah Dea terheran mengapa saya bisa menebak. Sepertinya pemberi nama bukan ayah Dea". Si Dea masih bingung lihat kami bercakap-cakap.

Saya juga menambahkan : "Dengan demikian keluarga dari kakek Dea mungkin berdarah seni. Orang biasanya nunjukin main musik ke anaknya juga lagu pop, ini malah Mozart"

Ayah Dea bilang : "Iya beberapa dari keluarga kami rata-rata jadi guru musik, buka toko musik dan kursus musik, juga ada yang pemain musik. Musiknya juga musik model klasik. Saya dulu pernah diajari jaman kecil saja. Sekarang sudah sibuk oleh kerjaan"

Saya tanya ke Dea : "Dea bisa main lagu apa?"

Dea jawab : "Banyak, lagu untuk anak-anak. Tapi ini kan piano C."

Saya tanya : "Kalau yang dimainkan ayah tadi nadanya apa?"

Dea jawab : "G harusnya"... 

Iseng saya browsing di wikipedia, ternyata memang G-major

Saya tanya lagi : "Bisa ngiringi om nyanyi nggak?"

Kemudian saya nyanyi Twinkle-twinkle Little Star

Dea : "Tapi om nadanya geser, bukan C. Ini pianonya udah pas, om yang gak pas"

Saya melanjutkan obrolan itu : "Kalau lagu yang pakai E apa?... Lagunya gimana?..."

Dea menyebutkan sebuah lagu yang saya nggak tau, kemudian dia mainkan. Dia bilang : "Tapi ini nggak bisa pakai piano C ya, beda nadanya" 😲😲

Asem juga dia telinganya cukup paham dengan nada. Rasanya saya dikalahkan berkali-kali oleh anak ini. Dalam batin saya, anak ini diasah dikit aja bakal bagus... Potensinya sudah ada.

Bapaknya bilang : "Di rumah dia bisa tau, kalau ayahnya nyanyi senandung, dia bilang : ini ayah pakai nada D ya?"

Menakjubkan dan sangat menghibur saya banget. Kami tenggelam dalam obrolan aneh itu, hingga kami tak sadar, mulai ada panggilan boarding. Masa connecting time transit ke Jogja sudah berakhir. Dea dan ayahnya juga siap beranjak ke tempat yang sama. Sayangnya tempat duduk kami berjauhan. Di sepanjang jalan udara, saya masih terpikir anak cantik itu, Amadea. Semoga kelak dia menjadi anak yang baik, dan sukses di dunia musik. Sampai Bandara Adisutjipto, saya tidak sempat lagi berjumpa dengan Dea, karena saya memang agak belakang, dan Dea ada di depan jauh sana. 

Setelah turun bandara, saya ke penitipan motor, dan siap pulang ke Salatiga. Kembali lagi rasa dongkol saya. Kenapa sih dibelikan tiket siang.. Lapar niiiii, untung ada Amadea..


==

Note : Sebagian besar cerita ini nyata. Ada sedikit bumbu dramatisasi biar asik. Ah semoga saja Amadea dan ayahnya membaca cerita ini. Sayangnya saya tidak sempat berfoto bersama Dea dan ayahnya karena memang batere menipis... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelamun Tak Pernah Secengeng Yang Kau Kira

  Kunyanyikan beberapa potong lagu, selang-seling irama bahagia dan irama sendu. Tiba-tiba datang dirimu, yang berkata : " Hai kau, ada apa dengan dirimu, melamun diri di bawah awan kelabu? ". Sambil tersenyum geli, kulanjut laguku. Tapi kau terus memburu. " Ada apa dirimu? Apakah dalam tekanan kalbu? Atau kau dilanda rindu? Ceritakan padaku! Aku perlu tahu.. Jangan sampai nanti kau terlambat sesali dirimu " Aku coba berganti irama. Irama riang irama bahagia. Tetapi otakmu terlalu dalam berkelana. Sehingga asumsimu sesat karenanya. Ah, aku peduli apa?  Hai.. Terima kasih pedulimu. Aku tak sedang berduka. Aku tak sedang merindu. Aku tak sedang seperti apa yang ada di benakmu. Aku berdendang bernyanyi, menghibur diri. Aku bukan siapapun. Tak usah kau kulik apa yang ada di dalam diriku. Aku bukan siapapun. Aku bukan sedang menyanyikan kecengengan. Aku bukan apa yang terjadi pada diriku. Aku adalah apa yang terjadi yang kupilih. Kenangan Ramadan 2023...

Simpanan Gambar, dan Pesan Untuk Masa Depan

Gambar ini saya ambi di bulan Juli 2018, di pesawahan jalan Kronggahan, Sleman, DIY. Tepatnya di seberang kantor Stasiun Pemantauan Cuaca BMKG. Saya membatin, apakah 10 tahun ke depan pemandangan senja ini bisa didapatkan generasi setelah saya? Tak butuh 10 tahun. Pemerintah lebih suka melebarkan jalan, mengalahkan sebagian sawah, agar dapat membuang arus lalu lintas yang padat daerah Denggung. Namun tetap saja, Denggung macet, jalan Kronggahan juga macet. Sawah kalah, dibanguni kafe dan perumahan/pemukiman yang mulai ada. Tidak hanya tempat ini tentunya. Banyak tempat lain yang bakal hilang.  Kelak saya akan post lagi kisah seperti ini. Agar anak cucu tahu, dulu mudah sekali dapat tempat dan pemandangan semewah ini. Atau entah mungkin anak cucu lebih suka pemandangan kemacetan atau hingar bingar...

Selamat Jalan, Keluarga Depan Rumah....

Covid-19 benar-benar luar biasa. Tak pernah saya sangka, kita masuk dalam generasi yang harus ketemu dengan wabah super ini. Korbannya tak tanggung-tanggung. Hari ini, kasus Indonesia ada 36 ribu lebih kasus harian. Angka kesembuhan harian baru di angka 32 ribu, masih tomboh 4 ribuan yang kecatat. Rumah sakit terpantau penuh di pulau Jawa. Sering terdengar suara pengumuman meninggal lewat pengumuman masjid..  Sosial media dipenuhi kata "Innalillahi", "RIP", "Permohonan darah konvalesen", "Permohonan tabung oksigen", "Permohonan info rumah sakit".  Hingga pada akhirnya, beberapa orang dalam lingkaran yang kita kenal dekat, yang kita harapkan kehidupannya, mereka akhirnya meninggal. Kita tidak dapat melayat, tidak dapat ditunggui juga, karena dicegah dengan protokol kesehatan. Mereka syahid. Kita makin nggrantes lagi dengan wafatnya para nakes. Andalan kita.  Hari ini, saya mendapatkan kabar duka cita dari kerabat di Wonosobo. Yaitu kelua