Langsung ke konten utama

Jalan Sesat

Saya diminta mengantar satu rombongan di suatu hari yang sangat ramai di sekitar Jogja. Saya tidak akan cerita kemana. Namun menghindari macet, saya pilih jalan kampung, mblasuk-mblasuk. Sekian lama tidak terlihat gejala jalan raya, rombongan pun ramai mulai setengah protes. "Ini nyasar ini, tersesat". Saya bersalah dengan membiarkannya. Tapi meresponnya juga bukan tindakan yang lebih benar. "Hahaa, ini pasti tersesat, gapapa, tersesat itu fitur". Tak apa. Sindiran yang sangat wajar bagi saya. "Kita tersesat, coba tadi lewat sana, jangan-jangan nanti lewat sana juga hahaha".

Hingga pada akhirnya saya katakan: "Pada mau saya ajak berfikir?" Merekapun masih pating cruwit untuk mengekspresikan ketaksanggupan mereka mengurai teka-teki jalan yang mereka tak tahu.

"Sampeyan-sampeyan minta saya jadi penunjuk jalan. Sampeyan-sampeyan mengeluh saat tersesat. Sampeyan menyangka ini tersesat. Dengan sangkaan sampeyan-sampeyan, maka anda mengeluh, anda mentertawakan. Saya bahagia jika sampeyan tertawa. Ya sekarang saya yang tertawa."

"Anda-anda mengambil simpulan bahwa saya kesasar. Karena anda-anda mengambil premis versi anda sendiri. Faktanya adalah saya mengklaim bahwa saya tidak kesasar. Anda-anda mengambil suatu premis untuk mengambil kesimpulan, dari hal-hal yang sama sekali kalian tidak tahu. Fakta non klaim adalah, sebentar lagi kita akan melewati menara yang ada di kelokan itu, dan masuk kecamatan lain. Fakta lainnya, anda lupa bahwa saya kerja di sini, yang harus blusukan di kampung-kampung. Fakta lainnya yang anda harus fahami: saya tiap pekan lewat sini. Sekarang, siapa yang sebenarnya tersesat? Fikiran anda atau saya?"

Sambil bercanda mereka malu, mereka berkata:"Soalnya biasanya tersesat". Sayapun menimpali : "Dalam banyak hal kita sering katakan orang lain sesat. Orang lain kesasar. Tapi sebenarnya mereka mengatakannya karena mereka tidak tahu bahwa jalan itu sebenarnya tidak sesat". Syukurlah mereka bisa diajak berfikir. Mereka diam. (Diamput)

Sayapun lanjut:"kalau demikian, percayakah pada saya, setelah jalan raya nanti, anda akan saya ajak mblusuk lewat sebelah utara?". Merekapun berkata : "Percaya, silakan". Saya melanjutkan:" Hati-hati dengan apa yang anda percayai. Mereka itu paling mudah menjerumuskan anda-anda. Pengetahuan menjadi amat penting."

Merekapun pening.. saya kesasar atau tidak..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ICU

Malam itu saya masih mondar-mandir dekat ruang tunggu ICU sebuah Rumah Sakit di kota kami. Setenang-tenang menjaga keluarga yang sakit di ruang perawatan khusus memang tidak ada yang enak. Masih berpikir tentang setelah sembuh apa yang harus dilakukan agar yang sekarang sakit menjadi sehat kembali, berpikir juga tentang pekerjaan yang terbengkalai, berpikir juga biaya, dan hal-hal yang terjadi berhubungan akibat dengan adanya sakit tersebut. Sekonyong-konyong muncul sebuah tandu dorong yang sedang berisi orang sakit, masuk ke ruang ICU dengan peralatan infus dan lain sebagainya. Sepertinya seorang wanita. Tandu didorong oleh tiga orang lelaki berseragam operasi, dan dipandu seorang wanita yang juga masih menggunakan masker operasi. Tandu didorong masuk ruangan, dan seorang laki-laki bermasker tadi meminta keluarga berhenti pada batas ruangan, meminta agar keluarga tidak memasuki ruangan ICU lebih dulu. Wajah tegang dan gelisah terlihat di wajah para anggota keluarga. Ada sekit

Simpanan Gambar, dan Pesan Untuk Masa Depan

Gambar ini saya ambi di bulan Juli 2018, di pesawahan jalan Kronggahan, Sleman, DIY. Tepatnya di seberang kantor Stasiun Pemantauan Cuaca BMKG. Saya membatin, apakah 10 tahun ke depan pemandangan senja ini bisa didapatkan generasi setelah saya? Tak butuh 10 tahun. Pemerintah lebih suka melebarkan jalan, mengalahkan sebagian sawah, agar dapat membuang arus lalu lintas yang padat daerah Denggung. Namun tetap saja, Denggung macet, jalan Kronggahan juga macet. Sawah kalah, dibanguni kafe dan perumahan/pemukiman yang mulai ada. Tidak hanya tempat ini tentunya. Banyak tempat lain yang bakal hilang.  Kelak saya akan post lagi kisah seperti ini. Agar anak cucu tahu, dulu mudah sekali dapat tempat dan pemandangan semewah ini. Atau entah mungkin anak cucu lebih suka pemandangan kemacetan atau hingar bingar...

Pelamun Tak Pernah Secengeng Yang Kau Kira

  Kunyanyikan beberapa potong lagu, selang-seling irama bahagia dan irama sendu. Tiba-tiba datang dirimu, yang berkata : " Hai kau, ada apa dengan dirimu, melamun diri di bawah awan kelabu? ". Sambil tersenyum geli, kulanjut laguku. Tapi kau terus memburu. " Ada apa dirimu? Apakah dalam tekanan kalbu? Atau kau dilanda rindu? Ceritakan padaku! Aku perlu tahu.. Jangan sampai nanti kau terlambat sesali dirimu " Aku coba berganti irama. Irama riang irama bahagia. Tetapi otakmu terlalu dalam berkelana. Sehingga asumsimu sesat karenanya. Ah, aku peduli apa?  Hai.. Terima kasih pedulimu. Aku tak sedang berduka. Aku tak sedang merindu. Aku tak sedang seperti apa yang ada di benakmu. Aku berdendang bernyanyi, menghibur diri. Aku bukan siapapun. Tak usah kau kulik apa yang ada di dalam diriku. Aku bukan siapapun. Aku bukan sedang menyanyikan kecengengan. Aku bukan apa yang terjadi pada diriku. Aku adalah apa yang terjadi yang kupilih. Kenangan Ramadan 2023...