Langsung ke konten utama

Siapa Merusak Bahasaku?

Luangkanlah waktu untuk sekejap memahami beberapa kosakata dalam dua bahasa ini. Apakah anda termasuk lebih sering menggunakan kata :
Efektif  
Efisien 
Pink  
Orange 
Level 
Kondisi 
Komplain 
Gradasi 
Posisi 
BTW
daripada

Mangkus 
Sangkil 
Merah Jambu  
Jingga 
Tahap  
Keadaan  
Sangkal  
Nuansa 
Letak 
Ngomong-ngomong


Atau jangan-jangan pada bagian bawah, ada kata yang tidak anda ketahui?
Padahal arti dari bagian bawah itu adalah seperti yang lebih kita ketahui pada kelompok atas. Saya telah melakukan pertanyaan pada puluhan orang tentang kata Mangkus, Sangkil, Nuansa. Hasilnya adalah untuk kata Mangkus dan Sangkil : 100% tidak ada yang faham mengenai kosa kata tersebut. Sedang kata Nuansa, 100% menjawab: Nuansa adalah suasana.

Saya juga mendengarkan bagaimana guru-guru PAUD dan TK anak saya dalam mengajarkan warna. Ternyata sempat seorang guru PAUD harus berdebat dengan muridnya tentang warna JINGGA. Sang Guru mengatakan bahwa itu ORANYE atau ORANGE, sementara anak saya bersikeras bahwa itu adalah JINGGA. Saya anggap anak saya benar, karena saat itu sedang membicarakan warna dalam bahasa Indonesia. Tidak lagi saya mendengar kata warna Merah Jambu. Yang sering terdengar adalah PINK. Kasus-kasus warna ini lebih parah lagi masuk ke ranah bahasa Jawa. Tidak lagi orang tahu "Kuning Tela" atau "Jambon". Mereka lebih memilih istilah asing sekalipun mereka tinggal di desa-desa.

Masyarakat juga lebih sering menggunakan kata AKU, sekalipun itu untuk keadaan bahasan yang istilah asingnya "formal". Tidak lagi mereka bisa membedakan kata AKU dan SAYA.
Kata KAMI dan KITA, jelas mengalami hajaran pergeseran makna cukup besar. Sering terdengar kata "kita-kita". Padahal KITA adalah kata ganti orang pertama jamak, yang melibatkan orang yang diajak berbicara. Sedang kata KAMI, adalah kata ganti orang pertama jamak, dengan tidak melibatkan si lawan bicara.

Contoh :
"Kita-kita ini datang kepada bapak untuk mengajukan suatu penawaran"

Kata semacam ini sering kita baca dan dengar di mana-mana. Padahal, seharusnya kata "kita-kita" disitu seharusnya adalah "kami" karena si lawan bicara tidak terlibat. Bahkan, lebih parahnya, khalayak benar-benar tidak mengerti beda kami dan kita. Cobalah tengok untuk kasus : Kalian, Kau, kamu, anda..

Dalam obrolan saya dan beberapa teman di twitter, justru terungkap bahwa KAMI dan KITA ini unik, karena kasusnya tidak dijumpai dalam bahasa lain, misal bahasa Inggris, mereka menggunakan WE, tanpa bisa dibedakan mana yang melibatkan si lawan bicara.

Pernahkan dengar kata semena-mena? Bagaimana pembacaannya dan apa artinya? Seringkali kata itu terbaca dengan lafal/pengucapan pada vokal E seperti cara membaca DENGAN, EMPEDU. Padahal seharusnya kata tersebut dibaca seperti pembacaan kata TEMPE. Semena-mena. Arti semena-mena , adalah dengan sebaik-baiknya. Sayangnya khalayak rancu membedakan dengan sewenang-wenang.

Kata "dimungkiri" tidak lagi banyak dijumpai di media massa. Khalayak lebih senang menggunakan kata "dipungkiri". Sementara sebenarnya kata dasar dari kata tersebut adalah MUNGKIR, berasal dari serapan bahasa Arab : MUNGKAR.

Contoh-contoh diatas adalah sebagian dari kekeliruan-kekeliruan yang terjadi dalam berbahasa. Sebenarnya tidak menjadi masalah jika hal itu terjadi di dalam kehidupan non-formal. Bahasa prokem dan lain sebagainya memang bisa saja untuk pencair suasana. Namun sangat disayangkan jika dalam bahasan formal, kata yang telah ada dalam bahasa Indonesianya, justru lebih dipilih bahasa lain, karena tidak diketahui artinya dalam bahasa Indonesia.

Bolehlah dilihat dalam laporan-laporan skripsi, tugas akhir, laporan teknis yang terserak di Internet, akan dijumpai banyak sekali kata-kata kerja aktif dengan kata ganti orang pertama masuk dalam laporan tersebut.

Misal:

"Setelah hitungan tersebut, maka kita lanjutkan dengan memasukkan hasilnya pada rumus selanjutnya"

Padahal, seharusnya dalam bahasan laporan teknis, skripsi, thesis, desertasi, kata tersebut tertulis demikian:

"Hasil dari hitungan tersebut dapat diterapkan pada rumus selanjutnya, yakni:"

Nah, jangan-jangan justru lebih banyak lagi yang tidak mengetahui hal ini. Sebagai tambahan informasi, kata keliru diatas, saya temukan dalam sebuah naskah THESIS S2 yang dilanjutkan menjadi sebuah tulisan ilmiah PRA S3. Luar biasa sekali institusi yang bisa meluluskan kalimat tersebut pada tingkat THESIS S2.

Saya masih ingat kata guru saya zaman dahulu :
"Gantilah kata 'kita me...' dengan 'di..' pada setiap laporan yang sifatnya penting dan formal, selain pada halaman penutup dan saran. Hindari kata ganti orang pertama dan gunakan sesedikit mungkin kata kerja aktif."

Saya memang bukan ahli bahasa. Namun jika saya yang tidak banyak tahu bahasa ini masih bisa melihat banyaknya kesalahkaprahan yang dilanjutkan, dan justru makin dirusak, tentunya para guru saya di masa lalu sudah putus asa memikirkan cara memperbaiki bahasa ini. Belum lagi hajaran media jejaring sosial yang kerap kali mempopulerkan kata-kata salah dengan cara saling menirukan kata-kata orang bodoh, setelah mereka mentertawakannya sebelumnya. Tulisan ini hanya sebuah wujud ungkapan uneg-uneg saya sebagai orang yang harusnya masih merasa memiliki bahasa Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelamun Tak Pernah Secengeng Yang Kau Kira

  Kunyanyikan beberapa potong lagu, selang-seling irama bahagia dan irama sendu. Tiba-tiba datang dirimu, yang berkata : " Hai kau, ada apa dengan dirimu, melamun diri di bawah awan kelabu? ". Sambil tersenyum geli, kulanjut laguku. Tapi kau terus memburu. " Ada apa dirimu? Apakah dalam tekanan kalbu? Atau kau dilanda rindu? Ceritakan padaku! Aku perlu tahu.. Jangan sampai nanti kau terlambat sesali dirimu " Aku coba berganti irama. Irama riang irama bahagia. Tetapi otakmu terlalu dalam berkelana. Sehingga asumsimu sesat karenanya. Ah, aku peduli apa?  Hai.. Terima kasih pedulimu. Aku tak sedang berduka. Aku tak sedang merindu. Aku tak sedang seperti apa yang ada di benakmu. Aku berdendang bernyanyi, menghibur diri. Aku bukan siapapun. Tak usah kau kulik apa yang ada di dalam diriku. Aku bukan siapapun. Aku bukan sedang menyanyikan kecengengan. Aku bukan apa yang terjadi pada diriku. Aku adalah apa yang terjadi yang kupilih. Kenangan Ramadan 2023...

Simpanan Gambar, dan Pesan Untuk Masa Depan

Gambar ini saya ambi di bulan Juli 2018, di pesawahan jalan Kronggahan, Sleman, DIY. Tepatnya di seberang kantor Stasiun Pemantauan Cuaca BMKG. Saya membatin, apakah 10 tahun ke depan pemandangan senja ini bisa didapatkan generasi setelah saya? Tak butuh 10 tahun. Pemerintah lebih suka melebarkan jalan, mengalahkan sebagian sawah, agar dapat membuang arus lalu lintas yang padat daerah Denggung. Namun tetap saja, Denggung macet, jalan Kronggahan juga macet. Sawah kalah, dibanguni kafe dan perumahan/pemukiman yang mulai ada. Tidak hanya tempat ini tentunya. Banyak tempat lain yang bakal hilang.  Kelak saya akan post lagi kisah seperti ini. Agar anak cucu tahu, dulu mudah sekali dapat tempat dan pemandangan semewah ini. Atau entah mungkin anak cucu lebih suka pemandangan kemacetan atau hingar bingar...

Selamat Jalan, Keluarga Depan Rumah....

Covid-19 benar-benar luar biasa. Tak pernah saya sangka, kita masuk dalam generasi yang harus ketemu dengan wabah super ini. Korbannya tak tanggung-tanggung. Hari ini, kasus Indonesia ada 36 ribu lebih kasus harian. Angka kesembuhan harian baru di angka 32 ribu, masih tomboh 4 ribuan yang kecatat. Rumah sakit terpantau penuh di pulau Jawa. Sering terdengar suara pengumuman meninggal lewat pengumuman masjid..  Sosial media dipenuhi kata "Innalillahi", "RIP", "Permohonan darah konvalesen", "Permohonan tabung oksigen", "Permohonan info rumah sakit".  Hingga pada akhirnya, beberapa orang dalam lingkaran yang kita kenal dekat, yang kita harapkan kehidupannya, mereka akhirnya meninggal. Kita tidak dapat melayat, tidak dapat ditunggui juga, karena dicegah dengan protokol kesehatan. Mereka syahid. Kita makin nggrantes lagi dengan wafatnya para nakes. Andalan kita.  Hari ini, saya mendapatkan kabar duka cita dari kerabat di Wonosobo. Yaitu kelua